Kecepatan
aksi militer yang dikerahkan di kota-kota besar dan menguasai objek vital
nasional menunjukkan kualitas pengorganisasian dan efisiensi kinerja mereka.
Dalam
situasi yang masih terus berkembang, ada sekitar 90 warga sipil meninggal
dunia, 134 orang terluka, dan 1374 militer pro kudeta telah ditangkap.
“Namun,
segala upaya kudeta kian melemah,” kata pengamat politik internasional yang
meraih gelar doktor bidang ilmu politik dan hubungan internasional dari
Universitas Fatih Turki, Arya Sandhiyudha, dalam keterangan beberapa saat lalu
(Minggu, 16/7/2016).
Sejak
awal, Arya sendiri menduga peluang kudeta ini gagal sangat tinggi karena
beberapa hal. Diantaranya, polarisasi faksi. Di tahun 2015 ketika pemilu Turki,
Partai Keadilan dan Pembangunan memenangkan 49,5 persen suara, dan negara ini
sangat terpolarisasi antara kaum Sekuler, Islamis, Kurdi dan Nasionalis.
Turki,
jelas Arya, memiliki sejumlah oposisi terhadap Islam yang menentang agenda
politik berhaluan neo-Ottoman dalam arah kebijakan luar negeri Erdogan. Tapi di
sisi lain mereka pendukung Presiden yang absah secara demokratis.
Selain
itu, jelasanya, ada banyak orang Turki yang anti-Erdogan belum tentu juga
anti-kudeta, karena mengingat trauma ketidakstabilan ekonomi dan politik di
masa lalu ketika kudeta terjadi di Turki.
“Upaya
kudeta ini adalah jelas merupakan produk dari faksi elit dalam militer yang
nampaknya tidak sukses untuk menjalankan kudeta,” demikian Arya.
(ysa/sta/pojoksatu)