Soekarno, Putra Sang Fajar |
"TITENANA,
bocah iki dadhi kembange jagat! Ingat-ingatlah, anak ini akan jadi bunga
dunia," ucap Raden Mas Panji Sumohatmojo sambil mengusap kepala seorang
bocah ganteng yang sedang melahap singkong bakar kesukaannya.
Bocah
tangkas pemberani itu, bermata candramawa. Sebutan khas orang Jawa untuk
kucing belang telon (berwarna tiga di bagian tubuhnya), yang diyakini memiliki
kemampuan supranatural.
RMP
Sumohatmojo adalah ayah Raden Mas Sumosuwoyo yang kelak jadi orangtua angkat
bocah candramawa. Kakek sakti mandraguna Sumohatmojo, sejatinya bertalian
darah dengan si bocah sampai pada Ki Ageng Pamanahan.
Sumohatmojo
melalui Panembahan Senopati, raja Mataram pertama. Sedang bocah candramawa,
bertalian darah dengan Pangeran Harya Mangkubumi.
Empat
dekade sejak pertemuan sederhana itu, nubuat Sumohatmojo memang terbukti. Bocah
candramawa berubah jadi sosok fenomenal yang dikagumi dunia, sebagai Sukarno.
Ia
menjelma jadi pujaan jutaan manusia. Suaranya menggelegar-menohok kolonialisme
dan kapitalisme. Kepercayaan dirinya membuncah ke seantero Asia-Afrika. Soviet
dan Tiongkok menaruh harapan besar padanya.
Singa
podium
Wajah
dunia seketika berubah. Sukarno tampil di barisan terdepan menantang Amerika.
Menampar wajah Paman Sam dengan Pancasila yang
ia sampaikan dalam Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa ke XV, pada Jumat, 30
September 1960.
Di
hadapan para pembesar negara-bangsa yang hadir di gedung PBB itu, Sukarno
menyampaikan pidato sepanjang 47 halaman, berjudul "To Build the World
Anew: Membangun Tatanan Dunia Baru". Pidato itu sarat tenaga perlawanan.
Pidato
itu seolah mewakili suara jutaan manusia tertindas dari negerinya, bangsa Asia,
dan juga Afrika. Pidato yang tak berteletele dan langsung menusuk jantung
peradaban manusia pada paragraf keempatnya.
Mata
para hadirin yang sebagian besar adalah presiden dari negara Eropa dan tentu
Amerika, sontak kena colok oleh kobaran semangat yang ia gelorakan.
Saat
itu, bahkan hingga kini, belum pernah ada lagi singa podium yang sanggup
memaksa para penentu dunia mendengar suaranya yang menggelegar, dan meminta
mereka melaksanakan manifesto yang ia bacakan. Ia seolah mengejewantah jadi
pemimpin tunggal dunia.
Sukarno
ditunjuk Allah untuk mengajari insan abad ini, arti penting sebuah kebangsaan
yang tak melulu Indonesia, tapi bangsa manusia. Ia seolah menjelma
"nabi" zaman baru.
Di
bahunya dititipkan masa depan banyak manusia. Hanya padanya seorang. Dalam
rangkaian hidupnya tersemat kebesaran dan kemuliaan. Harumnya menyebar ke
seantero penjuru angin--bahkan hingga hari ini.
Mengenang
Sukarno, saya teringat pada seorang kakek renta yang mendekam di bawah kolong
salah satu jembatan di Jakarta. Kakek itu lupa namanya sendiri. Terpinggirkan.
Terbuang dari peradaban.
Ya...
pada derajat tertentu, manusia bisa begitu agung lagi mulia. Sedang pada
derajat yang lain, ia bisa ternista, terhina, dan terhapus dari sejarah.
Air
mata darah
Jumat
hari ke sembilanbelas pada Juni 1970, hampir kelabu. Langit Jakarta adalah
saksinya. Itulah pemungkas kejatuhan seorang lelaki paling perkasa di Negeri
Khatulistiwa pada Abad-20--dari tampuk kepemimpinan yang diembannya selama 22
tahun.
Sukarno
terbaring lemas tak berdaya. Sorot matanya pernah menembus jauh ke relung
terdalam jutaan manusia yang ia bela. Kepalan tangannya telah memukul keras
bangsa rambut jagung dan kulit kuning, hingga mereka lari dari sejarah
penjajahan.
Bila
sedang berbicara di hadapan lautan manusia yang riuh rendah, suaranya menggelegar
membelah angkasa, membungkam mulut para pendengarnya.
Pada
hari yang murung itu, ketampanan Sukarno lindap entah ke mana. Di wajah yang
dulu kian memesona--terutama bagi kaum Hawa, terlihat berlubang di sana-sini.
Tanda racun menjalar di sekujur tubuhnya yang pernah begitu bertenaga
.
Lelaki
itu terbaring-terpejam. Kulit bibirnya mengelupas, parah. Ia bahkan tak lagi
sanggup berkata-kata.
Seorang
lelaki berkacata mata tebal, sebaya dengannya, datang menyambang. Ia Hatta.
Karib lama. Pasangan Dwitunggalnya. Seketika mata Sukarno terbuka meski hanya
nampak celahnya saja.
"Hatta...,
kau di sini rupanya."
Mendengar
ucapan lirih-perih itu, wajah Hatta pias. Anak-anak sungai di matanya mulai
bermunculan.
"Ya,
bagaimana kabarmu, No?" Jawabnya singkat dengan lidah tercekat.
"Hoe
at het met jou: Bagaimana keadaanmu?" Suara Sukarno nyaris tak terdengar.
Pertanyaan
dalam bahasa Belanda itu sontak menyeret Hatta pada nostalgia mereka semasa
muda. Sejak jumpa kali pertama di Bandung yang bergelora. Sejurus kemudian,
Sukarno terisak. Bendungan airmata Hatta pun meledak. Itu adalah tangisan
Sukarno yang keempat sejak ia ditahbis jadi Pemimpin Besar Revolusi.
Tangis
pertamanya tumpah untuk Pancasila.
Kedua, saat harus menandatangani surat hukuman mati Kartosuwiryo, sahabatnya
sewaktu diasuh Cokroaminoto.
Ketiga,
kala menyaksikan pusara jenderal yang ia sayangi, Achmad Yani--selepas
dikembalikan ke haribaan bumi.
Sambil
berderaian airmata, Hatta menggenggam tangan Sukarno yang ia cintai
sehidup-semati. Dada mereka sesak. Bagai tertindih batu sebesar gunung.
Pengorbanan
mereka yang sedemikian besar demi membebaskan bangsanya dari kungkungan
angkara, hanya berbalas fitnah bertubi-tubi, caci maki tak terperi.
Hatta
tak sanggup melihat airmata sahabatnya tumpah-ruah. Bahu mereka sama terguncang
menahan sekian banyak kenangan. Ia pun berpamitan dengan segenap kemesraan.
Dua
hari kemudian, Sukarno menuntaskan hidupnya yang begitu mengesankan jutaan
insan. Seakan ia baru mau pulang, persis seperti dulu ia menunggu Hatta yang
terkasih, sebelum membacakan Proklamasi.
Air
mata cinta
Gunung
Kelud pernah menandatangani kelahiran seorang manusia Indonesia pada Juni 1901.
Di bulan yang sama, 92 juta rakyat Indonesia menandai kepulangannya dengan
deraian airmata yang mencurah bak hujan menghapus kemarau.
Ahad
yang bertitimangsa 21 Juni 1970 itu, adalah saat paling berduka bagi segenap
anak bangsa Indonesia. Berita pedih itu menyebar bersama tiupan angin.
Putra
Sang Fajar telah berpulang ke haribaan Allah, juga saat matahari menyingsing.
Ia sungguh benar anak matahari dari timur.
Nun
jauh di tepian Kota Kembang, seorang perempuan usia delapanpuluh dua, bangkit
tergopoh menuju pusat Ibukota. Jasa besarnya mengantar sang suami ke pintu
gerbang kemerdekaan, sanggup membelah rakyat yang berjubelan di kitaran Wisma
Yaso.
Para
petugas kepresidenan mengantar mantan Ibunegara ini menuju jenazah yang begitu
ia rindukan sejak lama sebelum berpisah di Istana Merdeka. Sambil terisak pilu
ia berkata, lirih.
"Ngkus, geuning Ngkus tehmiheulan, ku
Inggit didoakeun: Ngkus... Kiranya Ngkus mendahului, Inggit doakan."
Istri
ketiga Sang Proklamator, Fatmawati, memilih sebaliknya. Ia keukeuh tak memberi
penghormatan terakhir kendati kelima anaknya terus merayu.
Sampai
detik terakhir wajah sarat pesona yang telah terbaring itu ditutup, datanglah
karangan bunga nan Indah dari Jalan Sriwijaya yang bertuliskan sebuah puisi.
Pendek saja:
"Cintamu
yang menjiwai hati rakyat... Cinta Fat."
Sehari
sebelumnya, seorang perempuan jelita paruh baya menyempatkan diri terbang dari
Jepang bersama putrinya yang masih berumur empat tahun demi menemani hari-hari
terakhir lelakinya--yang pernah begitu perkasa menantang dunia.
Gairah
perlawanan sang suami sungguh telah tertular padanya. Dua bulan sebelum itu,
pada 16 April 1970, perempuan berdarah Jepang ini dengan gagah berani menuding
jarinya ke Suharto dalam sebuah surat terbuka.
"...
Dibanding dengan Bung Karno, maka ternyata dibalik senyuman Tuan itu, Tuan
mempunyai hati yang kejam..."
Air
mata rakyat
Sehari
kemudian, jenazah Sang Proklamator pun diterbangkan. Sepanjang jalan, rakyat
mengular. Menyambut dengan tatapan pilu. Mata sembap berkalang debu.
Setiba
di Malang hingga dua jam perjalanan menuju Blitar, sama belaka pemandangannya.
Ratusan ribu orang berjejal mematung di sepanjang jalan. Seia sekata tentang
berita duka.
Mereka
menatap masygul pada iringan mobil yang mengantar pemimpin tercinta menuju
peraduannya di pusara terakhir. Anakanak berlarian mengiringkan.
Para
gadis remaja menjerit bertangisan. Kaum ibu bersimbah nestapa. Para bapak
terenyuh. Pilu. Terluka, lebih parah tinimbang putus cinta berulangkali.
Hingga
malam tiba, bahkan berhari lamanya, pusara salah seorang putra terbaik yang
pernah lahir di negeri ini, tiada pernah sepi. Rakyat masih berjubelan
menyerahkan airmatanya secara sukarela.
Beberapa
di antaranya membawa pulang kembang yang bertaburan. Beberapa yang lain,
mengantongi tanah pemakamannya--bahkan tak sedikit yang membalurkan tanah itu
pada wajah mereka.
Semua
melakukannya sebagai tanda cinta. Meski ke tanah jua tempat kembali, bagi
mereka, Sukarno tetap di hati. Bagaimana dengan kita?
Sebagai
generasi pelanjut, kita punya utang teramat besar pada Sukarno. Saya belum bisa
berbuat banyak guna membalas jasa besarnya. Namun saya terus memperbaiki diri.
Setiap
sempat. Kapan dan di mana saja. Saat tulisan ini disusun, saya menemukan wasiat
terakhir Sukarno pada Guntur, putra sulungnya. Wasiat yang kemudian melecut
lagi semangat saya yang sempat meredup. Begini isi wasiat yang sarat makna itu:
"Tok,
engkau adalah anak sulung Putra Sang Fajar. Sebab, bapakmu dilahirkan pada
waktu fajar menyingsing. Fajar 6 Juni yang sedang mereka di ujung timur. Dan
engkau lahir pada tahun keberanian, juga menjelang fajar 3 November saat mana
hegemoni kekuasaan Jepang semakin suram sinarnya. Nah, seperti halnya bapakmu,
engkau pun pantas menyambut terbitnya matahari. Jadilah manusia yang pantas
menyambut matahari terbit. Ingat, yang pantas menyambut terbitnya matahari itu
hanya manusia-manusia abdi Tuhan, manusia-manusia yang manfaat. Karena itu
jangan cengeng! Buktikan kepada setiap orang yang menatapmu, bahwa engkau
memang pantas menjadi anak sulung Sukarno."
sumber : kompas.com