Source : google |
Alhamdulillah,
segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Shalawat dan salam semoga terlimpah
kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para
sahabatnya.
Ada
beberapa orang yang sangat semangat mengisi Ramadhan. Sampai-sampai ia melarang
untuk melakukan hubungan suami istri pada malam harinya. Ia pun memberi fatwa
dan anjuran untuk tidak melakukan jima' dengan istri agar bisa lebih maksimal
dalam menjalankan kebaikan di bulan yang mulia. Bagaimana sebenarnya kedudukan
jima' (hubungan suami istri) di malam Ramadhan? Bagaimana pula hukum orang yang
melarangnya karena untuk memaksimalkan ibadah di malam-malam tersebut?
Sesungguhnya
melakukan jima' (hubungan suami istri) di malam-malam Ramadhan adalah mubah
sebagaimana makan dan minum. Hal itu didasarkan pada keterangan yang sangat
jelas dari Al-Qur'an dan kesepakan kaum muslimin. Allah 'Azza wa Jalla
telah berfirman:
أُأُحِلَّ
لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ
لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ
عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ
لَكُمْ
"Dihalalkan
bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka
itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah
mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah
mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan
carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu . . ." (QS. Al-Baqarah:
187) apakah masih berlaku pendapat yang melarang jima' di malam Ramadhan
sesudah jelas izin Allah bagi para hamba-Nya?
Al-Jashshah
berkata, "Maka Allah membolehkan jima', makan, dan minum pada malam-malam
puasa dari sejak awal malam sampai terbit fajar."
Al-Hafidz
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: Ini adalah rukhshah dari Allah
Ta'ala
bagi kaum muslimin. Dan Allah mengangkat hukum yang berlaku di awal Islam.,
yang apabila salah seorang mereka sudah berbuka maka halal baginya makan,
minum, dan jima' sampai shalat isya' atau tidur sebelum itu. Maka kapan ia
telah tertidur atau shalat Isya', diharamkan atasnya makan minum, dan jima'
sampai malam berikutnya. Merekapun mendapi hal itu sangat berat. Dan rafats di
sini adalah: al-Jima', (seperti) yang dikatakan Ibnu 'Abbas, 'Atha', Mujahid,
Sa'id bin Jubair, Thawus, Salim bin Abdillah, Amru bin Dinar, al-Hasan,
Qatadah, al-Zuhri, al-Dhahak, Ibrahim al-Nakha'I, al-Sudi, Atha' al-Khurasani,
dan Muqatil bin Hayyan. . ." (Selesai dari perkataan beliau)
Maka
jika orang tersebut meyakini haramnya jima' pada malam-malam puasa dan
menfatwakan hal itu, maka ia dalam bahaya besar karena menyelisihi Sharihul
Qur'an (ketarangan Al-Qur'an yang sangat jelas). Ia harus bertaubat kepada
Allah Ta'ala dengan taubatan nasuha karena telah melarang sesuatu yang
dihalalkan. Jika larangan jima' yang dia keluarkan dalam rangka mencari yang
lebih baik dan lebih utama; -- lebih baik orang-orang menyibukkan diri dengan
ibadah dan macam-macam amal ketaatan pada bulan ini dan tidak larut dalam
syahwat-syahwat ini --, maka urusannya lebih ringan. Tetapi, tidak lantas dia
benar seratus persen, dia tetap salah. Karena berjima' pada malam-malam puasa
adalah dibolehkan. Tidaklah orang tersebut lebih wara' (menjaga diri dari yang
haram) dari pada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan para sahabatnya. tidak
pernah didapatkan satu keterangan dari mereka yang melarang hal itu, kecuali
siapa yang beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Maka ia
tidak boleh mendekati istrinya sebagaimana yang sudah maklum. Dan dalam hadits
diterangkan,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا
اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ
"Adalah
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, apabila sudah masuk pada sepuluh hari
terakhir dari bulan Ramadhan, maka beliau menghidupkan malamnya, membangunkan
keluarganya, dan mengencangkan tali ikat pinggangnya." (Muttafaq 'Alaih
dari 'Asiyah Radhiyallahu 'Anha)
Imam
al-Syaukani rahimahullah menerangkan, "Perkataannya: Dan Syadda Mi'zarahu
(mengencangkan tali ikat pinggangnya), maknanya menjauhi istri-istrinya."
Boleh
jadi menggauli istri pada malam-malam puasa, terdapat maslahat yang
lebih, yaitu kalau disertai niat yang baik sebagai bentuk qurbah dan tha'ah.
Karena hal itu bisa membantu seseorang untuk menundukkan pandangan dan menjaga
kemaluan. Oleh karena itu, Allah Ta'ala berfirman, "Maka sekarang
campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu . .
." (QS. Al-Baqarah: 187)
Syaikh
al-Sa'di rahimahullah berkata, "(Maka sekarang) sesudah adanya rukhshah
dan kelapangan dari Allah ini, (campurilah mereka) dengan bersetubuh, ciuman,
dan belaian, serta yang lainnya. (dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu) maksudnya: niatkan dalam menggauli istri-istrimu itu sebagai taqarrub
(mendekatkan diri) kepada Allah Ta'ala. Dan tujuan utama dari berjima' terebut
adalah untuk mendapatkan keturunan, menjaga kehormatan farjinya dan farji
istrinya, dan mendapatkan tujuan-tujuan pernikahan."
Adapun
jika tujuannya meninggalkan jima' dengan istrinya pada malam-malam puasa tidak
membahyakan dirinya, maka tidak mengapa (tidak berdosa), karena ia meninggalkan
hal yang mubah. Dan ini tetap tidak apa-apa (tidak ada dosa) kecuali jika hal
itu menyiksa istri karena tak terpenuhi kebutuhan batinnya. Maka ia tidak boleh
menyakiti dan menyiks istrinya dengan keputusannya tersebut. Bahkan, termasuk
kewajiban para suami adalah menjaga 'iffah (kesucian) istrinya dan memenuhi
kebutuhan batinnya sesuai dengan kemampuan suami dan kebutuhan istri. Wallahu
Ta'ala A'lam.
Semoga
menjadi tambahan ilmu bagi kita semua. Jangan lupa sebarkan informasi ini...
Sumber
: voa-islam.com