Idjon Djanbi |
Idjon Djanbi. Nama yang amat kramat di kalangan pasukan baret
merah Indonesia. Mantan prajurit komando Belanda inilah yang mengasah mental
dan fisik anggota TNI AD terpilih, untuk pertama kali, dilatih menjadi prajurit
tangguh berkualifikasi komando. Sayang, walau terkenal, tak banyak yang tahu
soal masa lalunya, bahkan prajurit Kopassus sendiri.
Mochammad Idjon Djanbi lahir di desa kecil Boskoop, 13 Mei 1914
dengan nama Rokus Barendregt Visser. Ia berasal dari lingkungan keluarga petani
bunga dan. Berbagai hobi menantang dilakoninya, dari mendayung perahu kayu,
balapan mobil, bermain sepak, berkuda bola, bahkan mendaki gunung. Kegiatan ini
kerap kali membuat kakek dan neneknya kewalahan mengawasinya. Meski demikian
prestasi akademis di sekolahnya lumayan baik.
Beberapa gunung di Eropa telah ia daki, antara lain Gunung
Snowdon dan Ben Nervis (Inggris), Mont Blanc (Swiss), beberapa gunung di Jerman
Selatan. Gunung-gunung di Indonesia pun tak luput dari perhatiannya, seperti
Lawu, Merapi, dan Bromo. Lingkungan keluarga petani membentuk minatnya pada
bidang agraria. Ia memperdalam pengetahuannya dengan mengambil kursus agraria
di Liverpool, Inggris. Kemudian mempraktikan pengetahuannya sebagai pengusaha
ekspor impor bidang agraria dan holtikultura (tanaman hias) tahun 1935-1940.
Perang Dunia II
Pecahnya Perang Dunia II tahun 1939, membuat Visser tidak bisa
pulang ke Belanda karena telah dikuasai Jerman. Di usia 25 tahun ia terpanggil
masuk dunia militer untuk membela Belanda. Tahun 1940 ia masuk dinas militer
sukarela Tentara Sekutu yang berperang melawan Jerman. Tugas pertamanya sebagai
tentara adalah menjadi sopir Ratu Wilhelmina. Selang setahun berdinas, ia
mengundurkan diri.
Ia lalu mendaftarkan diri sebagai operator radio di Pasukan
Belanda ke-2 (2nd Dutch Troop). September 1944, ia merasakan
operasi tempurnya yang pertama bersama pasukan Sekutu dalam Operasi Market
Garden. Pasukan tempat Visser bertugas termasuk ke dalam Divisi Lintas Udara 82
Amerika Serikat. Ia dan pasukannya diterjunkan melalui pesawat layang, lalu
mendarat di wilayah konsentrasi pasukan Jerman. Dua bulan kemudian saat pasukan
dikumpulkan kembali, Visser digabungkan dengan pasukan Sekutu lain untuk
operasi pendaratan amfibi di Walcheren, kawasan pantai di bagian selatan
Belanda.
Pendidikan komando ditempuhnya di Commando Basic Training di
Achnacarry di pantai Skotlandia yang tandus, dingin dan tak berpenghuni.
Setelah menjalani latihan khusus yang keras dan berat, ia berhak menyandang
brevet Glider (baret hijau). Pelatihan dan pelajaran yang diperoleh antara lain
berkelahi dan membunuh tanpa senjata, membunuh pengawal, penembakan
tersembunyi, perkelahian tangan kosong, berkelahi dan membunuh tanpa senjata
api. Sedangkan baret merah diperoleh melalui pendidikan komando di Special Air
Service (SAS), pasukan komando Kerajaan Inggris yang sangat legendaris.
Selain itu, Visser juga mengantongi lisensi penerbang PPL-I dan
PPL-II. Plus juga menjalani pendidikan spesialisasi Bren, pertempuran hutan,
dan belajar bahasa Jepang. Visser kemudian mengikuti Sekolah Perwira karena
dianggap berprestasi. Lalu ia bergabung dengan Koninklij Leger untuk memukul
Jepang di Indonesia, meski Jepang keburu mundur dari Indonesia sebelum pasukan
Visser sempat dikirim.
Hidup di Indonesia
Kekalahan militer Jepang membuatnya hengkang dari Indonesia. Hal
ini membuka peluang Belanda kembali berambisi menguasai. Sehingga mereka tidak
mampu mengirimkan pasukan bantuan dari Eropa ke Indonesia. Belanda pun
melakukan persiapan besar-besaran di Australia dan Sri Lanka untuk kembali ke
Indonesia.
Pimpinan militer Belanda melihat perlu membentuk pasukan khusus
baik darat maupun udara, yang dapat dengan cepat menerobos garis pertahanan
Indonesia. Setelah diangkat mejadi Panglima Tertinggi Tentara Belanda, Letjen
Spoor sebagai komandan KNIL di Hindia Belanda mengemukakan rencananya membentuk
pasukan infanteri berkualifikasi komando serta pasukan payung (parasutis) yang
memperoleh pelatihan istimewa.
Pada 13 Maret 1946, Letnan de Koning dan Letnan van Beek
dipanggil dari Sri Lanka untuk membuka School Opleiding Parachutisten (Sekolah
Penerjun Payung) pada 15 Maret 1946. Agar tidak tercium pihak Republik, kamp
pelatihan ditempatkan di Papua Barat. Bulan April, lokasi pelatihan dipindah ke
Hollandia (Jayapura) dari Biak. Sekolah parasutis menempati sebuah
bangunan rumah sakit milik Amerika yang telah ditinggalkan pasukan Jenderal
Douglas MacArthur.
Ternyata Visser menyukai hidup di Indonesia. Meskipun kondisinya
sangat berbeda dengan kehidupan di Eropa. Ia sempat pulang ke Inggris menemui
keluarganya dan meminta istrinya, perempuan Inggris yang dinikahinya semasa PD
II serta keempat anaknya, untuk ikut ke Indonesia bersamanya. Karena sang istri
menolak, Visser memilih untuk bercerai. Tahun 1947, Visser kembali ke
Indonesia.
Ternyata sekolah yang dipimpinnya sudah pindah ke Batujajar,
Cimahi, Bandung. Tidak lama, Visser dipromosikan menjadi kapten dengan jabatan
Pelatih Kepala. Dalam kurun 1947-1949, sekolah yang dipimpinnya terus mencetak
peterjun militer.
Tahun 1949, Visser memutuskan keluar dari dunia militer dan
memilih menetap di Indonesia sebagai warga sipil. Meskipun keputusan ini
mengandung risiko tinggi karena saat itu sikap kebencian serta anti-Belanda
tertanam kuat dalam setiap diri orang Indonesia.
Meskipun Visser berbaret merah, tetap saja tidak ada yang bisa
menjamin keamanan mantan perwira penjajah di negeri bekas jajahannya ini. Namun
ia tak gentar. Ia memilih menetap di sebuah lahan pertanian di daerah Lembang,
Bandung. Di daerah sejuk ini pula fase kedua dalam kehidupannya di mulai,
dengan memutuskan memeluk agama Islam dan menikahi kekasihnya, seorang
perempuan Sunda. Sejak itu, Visser dikenal dengan Mochammad Idjon Djanbi.
Baca juga : Rugi Kalau Tidak Baca..! Inilah Kisah 30 Pasukan 'Hantu' Indonesia Kalahkan 3.000 Gerilyawan Kongo
Baca juga : Rugi Kalau Tidak Baca..! Inilah Kisah 30 Pasukan 'Hantu' Indonesia Kalahkan 3.000 Gerilyawan Kongo
Cetak pasukan komando
Suatu hari di tahun 1951, rumah Idjon Djanbi kedatangan seorang
perwira muda. Si tamu memperkenalkan diri sebagai Letnan Dua Aloysius Sugianto
dari Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Dalam pertemuan itu Idjon Djanbi
diminta sebagai pelatih tunggal untuk melatih komando di pendidikan CIC II
(Combat Inteligen Course) Cilendek, Bogor.
Tidak mudah membujuknya, sebab ia sudah hidup tenang di pedesaan
sebagai petani bunga. Letda Sugianto tak kurang akal, dirinya sampai harus
bermalam dua dua hari di situ. Usaha yang tak sia-sia karena akhirnya Idjon
Djanbi bersedia sebagai pengajar sipil selama masa pendidikan tiga bulan. Usai
pendidikan CIC II, Idjon Djanbi kembali menekuni profesi sebelumnya.
Tanggal 2 November 1951, Kolonel Kawilarang mendapat tugas baru
menjadi Panglima Tentara & Teritorium III/Siliwangi, Jawa Barat. Kawilarang
ingin mewujudkan cita-cita rekan seperjuangannya Letkol Slamet Rijadi untuk
membentuk pasukan berkualifikasi komando. Pasukan khusus semakin dibutuhkan
untuk menghadapi rongrongan DII/TII pimpinan Kartosowiryo di wilayah Jawa Barat
yang semakin meningkat. Gagasan ini sulit terwujud tanpa menemukan pelatih
berkualifikasi komando.
Akhirnya Kawilarang memperoleh informasi soal Idjon Djanbi. Ia
lalu memanggil mantan ajudannya Letda Sugiyanto yang sudah pernah dididik Idjon
Djanbi. Terhitung 1 April 1952, atas keputusan Menteri Pertahanan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, memutuskan bahwa Idjon Djanbi diangkat menjadi mayor
infanteri TNI AD dengan NRP 17665. Lalu ia lapor diri kepada Kolonel Kawilarang
selaku Panglima Komando Tentara & Terirorium III/Siliwangi untuk menerima
tugas.
Mayor (Inf) Idjon Djanbi segera melatih kader perwira dan
bintara untuk membentuk pasukan khusus. Tanggal 16 April 1952 dibentuklah
pasukan khusus dengan nama Kesatuan Komando Teritorium Tentara III/Siliwangi
disingkat Kesko III di bawah komando Mayor Inf Idjon Djanbi. Inilah tanggal
yang dijadikan hari jadi Kopassus hingga saat ini.
Satu tahun kemudian Satuan yang baru dibentuk ini diambil alih
kendalinya langsung di bawah Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Tanggal14 Januari
1953, Kesko III berganti nama menjadi Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD).
Lanjut pada 25 Juli 1955, KKAD berubah nama menjadi Resimen Pasukan Komando
Angkatan Darat (RPKAD) di bawah komando Mayor Mochammad Idjon Djanbi.
Setahun kemudian, RPKAD menyelenggarakan pelatihan terjun payung
pertama. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pasukan komando di
Margahayu Bandung. Langkah ini diambil karena Indonesia merupakan negara
kepulauan yang besar. Idjon Djanbi menginginkan prajurit RPKAD memiliki bekal
sebagai pasukan payung, sehingga dapat digerakkan ke medan operasi menggunakan
pesawat.
Dibuang
Masih di tahun 1956, pimpinan MBAD melihat celah untuk mengambil
alih kepemimpinan RPKAD ke orang Indonesia. Buntutnya, Mayor Idjon Djanbi
ditawari jabatan baru yang jauh dari urusan pelatihan komando dengan menjadi
koordinator Staf Pendidikan pada Inspektorat Pendidikan dan Latihan
(Kobangdiklat). Idjon Djanbi meminta pensiun dini akhir 1957. Idjon Djanbi yang
telah menjadi WNI diberi jabatan mengepalai perkebunan milik asing yang telah
dinasionalisasi.
Selepas dari sana ia berbisnis di bidang pariwisata dengan usaha
penyewaan bungalow di Kaliurang, Yogayakarta.
Suatu hari di tahun 1977, Idjon Djanbi mengendarai mobil bersama
keluarganya berlibur ke Yogyakarta. Tiba di sana, ia mengeluhkan sakit hebat di
bagian perutnya. Keluarga segera membawanya ke rumah sakit Panti Rapih. Hasil
diagnosa dokter diketahui bahwa Idjon Djanbi mengalami usus buntu dan harus
dioperasi. Usai dua minggu dioperasi tidak kunjung sembuh malah bertambah
parah. Ternyata usus besarnya turut bermasalah, sehingga jiwanya tidak tertolong
lagi.
Idjon Djanbi tutup usia di rumah sakit Panti Rapih pada 1 April
1977. Keluarga memutuskan memakamkannya di TPU Yogyakarta. Idjon Djanbi
dikebumikan jauh dari tembakan salvo penghormatan sebagai Bapak Kopassus
Indonesia yang sangat berjasa mencetak Pasukan Komando berkelas dunia yang kini
dikenal dengan nama Kopassus. (**ian)
Author:
Eka Hindra
Sumber
: angkasa.co.id