Bung Karno setelah shalat, source : google |
Membuka-buka
kembali buku API SEJARAH jilid 2 Karya Prof. Ahmad Mansur Suryanegara (AMS),
sedikit kaget dengan tulisan beliau di halaman 162 yang menyatakan bahwa
“Proklamator” menjalankan ibadah shaum. Dalam buku API SEJARAH ini tertulis :
”
Kemudian, sebagai fakta sejarah yang tidak dapat dipungkiri, Teks Proklamasi
dituliskan oleh Proklamator dan diketik oleh Sajoeti Melik, serta ditanda
tangani oleh kedua Proklamator pada waktu makan sahur shaum Ramadhan 1364.
Boeng Hatta menuturkan makan sahur di rumah Laksamada Maeda. Kemudian,
Teks Proklamasi dibacakan pada saat Proklamator menjalankan ibadah shaum“.
Meskipun
AMS tidak menyebutkan siapa yang dimaksud dengan Proklamator tersebut apakah
Boeng Hatta atawa Boeng Karno, tetapi sejarah mencatat bahwa yang membacakan
teks proklamasi adalah Ir. Soekarno. Yang jadi pertanyaan apakah benar Boeng
Karno menjalankan puasa saat teks proklamasi dibacakan ??
Rasa
penasaran akan tulisan AMS di API SEJARAH yang tidak secara detail dan gamblang
menjelaskan tentang seputar proklamasi, mendorong saya untuk menelusuri kembali
kisah seputar proklamasi yang sebetulnya sudah dibahas dalam dua posting di
tahun lalu yaitu tentang Pegangsaan Timur 56 ; Proklamasi dan Sang Merah Putih danKejadian Disekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 .
Hanya saja tentang ramadhan bulan dimana teks proklamasi dibacakan luput dari
tulisan di dua posting diatas.
Dalam
buku API SEJARAH jilid 2 dituliskan bahwa peristiwa proklamasi yang terjadi
pada tanggal 17 Agustus 1945 bertepatan pada hari Jum’at Legi tanggal 9
Ramadhan 1364 pukul 10.00 pagi. Ini berarti umat Islam bangsa Indonesia
khususnya dan Islam dunia umumnya sedang dalam melaksanakan Ibadah shaum.
Sedikit
kronologis sebagai tambahan informasi atas posting sebelumnya tentangKejadian Disekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, yang ditulis
oleh Prof. Dr. H. Dadan Wildan, M.Hum di web site setneg.go.id.
Tanggal
15 Agustus 1945, kira-kira pukul 22.00, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56
Jakarta, tempat kediaman Bung Karno, berlangsung perdebatan serius
antara sekelompok pemuda dengan Bung Karno mengenai Proklamasi Kemerdekaan
sebagaimana dilukiskan Lasmidjah Hardi (1984:58); Ahmad Soebardjo (1978:85-87)
sebagai berikut:
” Sekarang
Bung, sekarang! malam ini juga kita kobarkan revolusi !”
kata Chaerul Saleh dengan meyakinkan Bung Karno bahwa ribuan
pasukan bersenjata sudah siap mengepung kota dengan maksud mengusir
tentara Jepang. ” Kita harus segera merebut kekuasaan !”
tukas Sukarni berapi-api. ” Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami!”
seru mereka bersahutan. Wikana malah berani mengancam Soekarno dengan
pernyataan; ” Jika Bung Karno tidak mengeluarkan pengumuman pada
malam ini juga, akan berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah
dan pembunuhan besar-besaran esok hari .”
Mendengar
kata-kata ancaman seperti itu, Soekarno naik darah dan berdiri menuju Wikana
sambil berkata: ” Ini batang leherku, seretlah saya ke
pojok itu dan potonglah leherku malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu
esok hari !”. Hatta kemudian memperingatkan Wikana; “… Jepang adalah
masa silam. Kita sekarang harus menghadapi Belanda yang akan berusaha
untuk kembali menjadi tuan di negeri kita ini. Jika saudara tidak setuju dengan
apa yang telah saya katakan, dan mengira bahwa saudara telah siap dan
sanggup untuk memproklamasikan kemerdekaan, mengapa saudara tidak
memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri ? Mengapa meminta
Soekarno untuk melakukan hal itu ?”
Namun,
para pemuda terus mendesak; ” apakah kita harus menunggu hingga
kemerdekaan itu diberikan kepada kita sebagai hadiah, walaupun Jepang
sendiri telah menyerah dan telah takluk dalam ‘Perang Sucinya ‘!”.
” Mengapa bukan rakyat itu sendiri yang memproklamasikan kemerdekaannya ? Mengapa
bukan kita yang menyatakan kemerdekaan kita sendiri, sebagai suatu bangsa ?”.
Dengan lirih, setelah amarahnya reda, Soekarno berkata; “… kekuatan yang
segelintir ini tidak cukup untuk melawan kekuatan bersenjata dan kesiapan
total tentara Jepang! Coba, apa yang bisa kau perlihatkan
kepada saya ? Mana bukti kekuatan yang diperhitungkan itu ?Apa
tindakan bagian keamananmu untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak ?Bagaimana
cara mempertahankan kemerdekaan setelah diproklamasikan ? Kita
tidak akan mendapat bantuan dari Jepang atau Sekutu. Coba bayangkan, bagaimana
kita akan tegak di atas kekuatan sendiri “. Demikian jawab Bung Karno
dengan tenang.
Para
pemuda, tetap menuntut agar Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan.
Namun, kedua tokoh itu pun, tetap pada pendiriannya semula. Setelah berulangkali
didesak oleh para pemuda, Bung Karno menjawab bahwa ia tidak bisa
memutuskannya sendiri, ia harus berunding dengan para tokoh lainnya. Utusan
pemuda mempersilahkan Bung Karno untuk berunding. Para tokoh yang hadir pada
waktu itu antara lain, Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa Kusumasomantri,
Djojopranoto, dan Sudiro. Tidak lama kemudian, Hatta menyampaikan
keputusan, bahwa usul para pemuda tidak dapat diterima dengan
alasan kurang perhitungan serta kemungkinan timbulnya banyak korban
jiwa dan harta. Mendengar penjelasan Hatta, para pemuda nampak tidak
puas. Mereka mengambil kesimpulan yang menyimpang; menculik Bung
Karno dan Bung Hatta dengan maksud menyingkirkan kedua tokoh itu dari
pengaruh Jepang.
Pukul
04.00 dinihari, tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta oleh
sekelompok pemuda dibawa ke Rengasdengklok. Aksi “penculikan” itu sangat
mengecewakan Bung Karno, sebagaimana dikemukakan Lasmidjah Hardi (1984:60).
Bung Karno marah dan kecewa, terutama karena para pemuda tidak mau
mendengarkan pertimbangannya yang sehat. Mereka menganggap perbuatannya itu
sebagai tindakan patriotik. Namun, melihat keadaan dan situasi yang panas, Bung
Karno tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengikuti kehendak para pemuda
untuk dibawa ke tempat yang mereka tentukan. Fatmawati istrinya, dan
Guntur yang pada waktu itu belum berumur satu tahun, ia ikut sertakan.
Rengasdengklok
kota kecil dekat Karawang dipilih oleh para pemuda untuk
mengamankan Soekarno-Hatta dengan perhitungan militer; antara anggota PETA
(Pembela Tanah Air) Daidan Purwakarta dengan Daidan Jakarta
telah terjalin hubungan erat sejak mereka mengadakan latihan bersama-sama. Di
samping itu, Rengasdengklok letaknya terpencil sekitar 15 km. dari
Kedunggede Karawang. Dengan demikian, deteksi dengan mudah dilakukan terhadap
setiap gerakan tentara Jepang yang mendekati Rengasdengklok, baik yang datang
dari arah Jakarta maupun dari arah Bandung atau Jawa Tengah.
Sehari
penuh, Soekarno dan Hatta berada di Rengasdengklok. Maksud para pemuda untuk
menekan mereka, supaya segera melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan terlepas dari
segala kaitan dengan Jepang, rupa-rupanya tidak membuahkan hasil. Agaknya
keduanya memiliki wibawa yang cukup besar. Para pemuda yang membawanya ke
Rengasdengklok, segan untuk melakukan penekanan terhadap keduanya. Sukarni dan
kawan-kawannya, hanya dapat mendesak Soekarno-Hatta untuk menyatakan proklamasi
secepatnya seperti yang telah direncanakan oleh para pemuda di Jakarta . Akan
tetapi, Soekarno-Hatta tidak mau didesak begitu saja. Keduanya, tetap
berpegang teguh pada perhitungan dan rencana mereka sendiri. Di sebuah
pondok bambu berbentuk panggung di tengah persawahan
Rengasdengklok, siang itu terjadi perdebatan panas; ”Revolusi berada di tangan
kami sekarang dan kami memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi
malam ini, lalu …”. ” Lalu apa ?” teriak Bung Karno sambil
beranjak dari kursinya, dengan kemarahan yang menyala-nyala. Semua terkejut,
tidak seorang pun yang bergerak atau berbicara.
Waktu
suasana tenang kembali. Setelah Bung Karno duduk. Dengan suara rendah ia mulai
berbicara; ” Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah
saatnya yang tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan seluruh
pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17 “. ” Mengapa justru
diambil tanggal 17, mengapa tidak sekarang saja, atau tanggal 16 ?”
tanya Sukarni. ” Saya seorang yang percaya pada mistik”. Saya tidak dapat
menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan
kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat
yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada
dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti
saat yang paling suci bagi kita. tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat
itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Al-Qur’an
diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu
kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia “. Demikianlah antara lain
dialog antara Bung Karno dengan para pemuda di Rengasdengklok sebagaimana
ditulis Lasmidjah Hardi (1984:61).
Sementara
itu, di Jakarta, antara Mr. Ahmad Soebardjo dari golongan tua dengan Wikana
dari golongan muda membicarakan kemerdekaan yang harus dilaksanakan
di Jakarta . Laksamana Tadashi Maeda, bersedia untuk menjamin keselamatan
mereka selama berada di rumahnya. Berdasarkan kesepakatan itu, Jusuf Kunto dari
pihak pemuda, hari itu juga mengantar Ahmad Soebardjo bersama sekretaris
pribadinya, Sudiro, ke Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan Hatta.
Rombongan penjemput tiba di Rengasdengklok sekitar pukul 17.00. Ahmad
Soebardjo memberikan jaminan, bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan
pada tanggal 17 Agustus 1945, selambat-lambatnya pukul 12.00. Dengan
jaminan itu, komandan kompi PETA setempat, Cudanco Soebeno, bersedia
melepaskan Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta (Marwati Djoened
Poesponegoro, ed. 1984:82-83).
Merumuskan
Teks Proklamasi
Rombongan
Soekarno-Hatta tiba di Jakarta sekitar pukul 23.00. Langsung menuju rumah
Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol No.1, setelah lebih dahulu
menurunkan Fatmawati dan putranya di rumah Soekarno. Rumah Laksamada
Maeda, dipilih sebagai tempat penyusunan teks Proklamasi karena sikap
Maeda sendiri yang memberikan jaminan keselamatan pada Bung Karno dan
tokoh-tokoh lainnya. De Graff yang dikutip Soebardjo (1978:60-61) melukiskan
sikap Maeda seperti ini. Sikap dari Maeda tentunya memberi kesan aneh bagi
orang-orang Indonesia itu, karena perwira Angkatan Laut ini selalu berhubungan
dengan rakyat Indonesia.
Sebagai
seorang perwira Angkatan Laut yang telah melihat lebih banyak dunia ini dari
rata-rata seorang perwira Angkatan Darat , ia mempunyai pandangan yang lebih
tepat tentang keadaan dari orang-orang militer yang agak sempit
pikirannya. Ia dapat berbicara dalam beberapa bahasa. Ia adalah pejabat yang
bertanggungjawab atasBukanfu di Batavia; kantor pembelian Angkatan
Laut di Indonesia. Ia tidak khusus membatasi diri hanya pada tugas-tugas
militernya saja, tetapi agar dirinya dapat terbiasa dengan suasana di
Jawa , ia membentuk suatu kantor penerangan bagi dirinya di tempat yang sama
yang pimpinannya dipercayakan kepada Soebardjo. Melalui kantor inilah,
yang menuntut biaya yang tidak sedikit baginya, ia
mendapatkan pengertian tentang masalah-masalah di Jawa lebih baik dari
yang didapatnya dari buletin-buletin resmi Angkatan Darat. Terlebih-lebih ia
memberanikan diri untuk mendirikan asrama-asrama bagi nasionalis-nasionalis
muda Indonesia . Pemimpin-pemimpin terkemuka, diperbantukan sebagai guru-guru
untuk mengajar di asrama itu. Doktrin-doktrin yang agak radikal
dipropagandakan. Lebih lincah dari orang-orang militer, ia berhasil mengambil
hati dari banyak nasionalis yang tahu pasti bahwa keluhan-keluhan dan
keberatan-keberatan mereka selalu bisa dinyatakan kepada Maeda. Sikap Maeda
seperti inilah yang memberikan keleluasaan kepada para tokoh nasionalis untuk
melakukan aktivitas yang maha penting bagi masa depan bangsanya.
Malam
itu, dari rumah Laksamana Maeda, Soekarno dan Hatta ditemani Laksamana Maeda
menemui Somobuco (kepala pemerintahan umum), Mayor Jenderal
Nishimura, untuk menjajagi sikapnya mengenai pelaksanaan Proklamasi
Kemerdekaan. Nishimura mengatakan bahwa karena Jepang sudah menyatakan
menyerah kepada Sekutu, maka berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak
diperbolehkan lagi mengubah status quo . Tentara Jepang diharuskan
tunduk kepada perintah tentara Sekutu. Berdasarkan garis kebi jakan
itu, Nishimura melarang Soekarno-Hatta mengadakan rapat PPKI dalam rangka
pelaksanaan Proklamasi Kemerde kaan. Melihat kenyataan ini, Soekarno-Hatta
sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi untuk membicarakan soal
kemerdekaan Indonesia dengan Jepang. Mereka hanya berharap agar pihak
Jepang tidak menghalang-ha langi pelaksanaan proklamasi
kemerdekaan oleh rakyat Indonesia sendiri (Hatta, 1970:54-55).
Setelah
pertemuan itu, Soekarno dan Hatta kembali ke rumah Laksamana Maeda. Di
ruang makan rumah Laksamana Maeda itu dirumuskan teks proklamasi kemerdekaan.
Maeda, sebagai tuan rumah, mengundurkan diri ke kamar tidurnya
di lantai dua ketika peristiwa bersejarah itu berlangsung. Miyoshi,
orang kepercayaan Nishimura, bersama Sukarni, Sudiro, dan B.M. Diah menyaksikan
Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo membahas rumusan teks Proklamasi.
Sedangkan tokoh-tokoh lainnya, baik dari golongan tua maupun
dari golongan pemuda, menunggu di serambi muka.
Menurut
Soebardjo (1978:109) di ruang makan rumah Laksamana Maeda menjelang tengah
malam, rumusan teks Proklamasi yang akan dibacakan esok harinya
disusun. Soekarno menuliskan konsep proklamasi pada secarik kertas. Hatta
dan Ahmad Soebardjo menyumbangkan pikirannya secara lisan. Kalimat pertama dari
teks Proklamasi merupakan saran Ahmad Soebardjo yang diambil dari rumusan
Dokuritsu Junbi Cosakai , sedangkan kalimat terakhir merupakan
sumbangan pikiran Mohammad Hatta. Hatta menganggap kalimat pertama hanyalah
merupakan pernyataan dari kemauan bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya
sendiri, menurut pendapatnya perlu ditambahkan pernyataan mengenai pengalihan
kekuasaan (transfer of sovereignty). Maka dihasilkanlah
rumusan terakhir dari teks proklamasi itu.
Setelah
kelompok yang menyendiri di ruang makan itu selesai merumuskan teks
Proklamasi, kemudian mereka menuju serambi muka untuk menemui hadirin yang
berkumpul di ruangan itu. Saat itu, dinihari menjelang subuh. Jam
menunjukkan pukul 04.00, Soekarno mulai membuka pertemuan itu dengan membacakan
rumusan teks Proklamasi yang masih merupakan konsep. Soebardjo (1978:109-110)
melukiskan suasana ketika itu: “Sementara teks Proklamasi ditik, kami
menggunakan kesempatan untuk mengambil makanan dan minuman dari
ruang dapur, yang telah disiapkan sebelumnya oleh tuan rumah kami
yang telah pergi ke kamar tidurnya di tingkat atas. Kami belum makan
apa-apa, ketika meninggalkan Rengasdengklok. Bulan itu adalah bulan suci
Ramadhan dan waktu hampir habis untuk makan sahur, makan terakhir sebelum
sembahyang subuh. Setelah kami terima kembali teks yang telah ditik,
kami semuanya menuju ke ruang besar di bagian depan rumah. Semua orang berdiri
dan tidak ada kursi di dalam ruangan. Saya bercampur dengan
beberapa anggota Panitia di tengah-tengah ruangan. Sukarni berdiri
di samping saya. Hatta berdiri mendampingi Sukarno menghadap para
hadirin . Waktu menunjukkan pukul 04.00 pagi tanggal 17 Agustus 1945, pada
saat Soekarno membuka pertemuan dini hari itu dengan beberapa patah
kata.
“Keadaan
yang mendesak telah memaksa kita semua mempercepat pelaksanaan
Proklamasi Kemerdekaan. Rancangan teks telah siap dibacakan
di hadapan saudara-saudara dan saya harapkan benar bahwa
saudara-saudara sekalian dapat menyetujuinya sehingga kita dapat berjalan terus
dan menyelesaikan pekerjaan kita sebelum fajar menyingsing“. Kepada mereka yang
hadir, Soekarno menyarankan agar bersama-sama menandatangani
naskah proklamasi selaku wakil-wakil bangsa Indonesia . Saran itu
diperkuat oleh Mohammad Hatta dengan mengambil contoh pada“Declaration of
Independence ” Amerika Serikat. Usul itu ditentang oleh pihak pemuda yang
tidak setuju kalau tokoh-tokoh golongan tua yang
disebutnya “budak-budak Jepang” turut menandatangani naskah
proklamasi. Sukarni mengusulkan agar penandatangan naskah proklamasi
itu cukup dua orang saja, yakni Soekarno dan Mohammad Hatta atas
nama bangsa Indonesia . Usul Sukarni itu diterima oleh hadirin.
Naskah
yang sudah diketik oleh Sajuti Melik, segera ditandatangani
oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Persoalan timbul mengenai
bagaimana Proklamasi itu harus diumumkan kepada rakyat
di seluruh Indonesia , dan juga ke seluruh pelosok dunia.
Di mana dan dengan cara bagaimana hal ini harus diselenggarakan? Menurut
Soebardjo (1978:113), Sukarni kemudian memberitahukan bahwa rakyat
Jakarta dan sekitarnya, telah diserukan untuk datang berbondong-bondong
ke lapangan IKADA pada tanggal 17 Agustus untuk mendengarkan
Proklamasi Kemerdekaan. Akan tetapi Soekarno menolak saran
Sukarni. ” Tidak ,” kata Soekarno, ” lebih baik dilakukan
di tempat kediaman saya di Pegangsaan Timur. Pekarangan di
depan rumah cukup luas untuk ratusan orang. Untuk apa kita harus
memancing-mancing insiden ? Lapangan IKADA adalah
lapangan umum. Suatu rapat umum, tanpa diatur sebelumnya dengan
penguasa-penguasa militer, mungkin akan menimbulkan salah faham. Suatu
bentrokan kekerasan antara rakyat dan penguasa militer yang akan
membubarkan rapat umum tersebut, mungkin akan terjadi. Karena itu,
saya minta saudara sekalian untuk hadir di Pegangsaan Timur 56 sekitar
pukul 10.00 pagi .” Demikianlah keputusan terakhir dari pertemuan itu.
Detik-Detik
Proklamasi
Hari
Jumat di bulan Ramadhan, pukul 05.00 pagi, fajar 17 Agustus 1945
memancar di ufuk timur. Embun pagi masih menggelantung di tepian daun. Para
pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda, dengan
diliputi kebanggaan setelah merumuskan teks Proklamasi hingga dinihari. Mereka,
telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia hari
itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada pukul
10.00 pagi. Bung Hatta sempat berpesan kepada para pemuda yang
bekerja pada pers dan kantor-kantor berita, untuk memperbanyak naskah
proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh dunia (Hatta, 1970:53).
Pada
17 Agustus 1945 pukul 08.00 (2 jam sblm pembacaan teks Proklamasi), ternyata
Bung Karno masih tidur nyenyak di kamarnya, di Jalan Pegangsaan Timur 56,
Cikini. Dia terkena gejala malaria tertiana. Suhu badannya tinggi dan
sangat lelah setelah begadang bersama para sahabatnya menyusun konsep naskah
proklamasi di rumah Laksamana Maeda.
“Pating
greges“, keluh Bung Karno setelah dibangunkan Dr. Soeharto, dokter kesayangannya.
Kemudian
darahnya dialiri chinineurethanintramusculair danmenenggak pil brom
chinine. Lalu ia tidur lagi. Pukul 09.00, Bung Karno terbangun. Berpakaian rapi
putih-putih dan menemui sahabatnya, Bung Hatta.
Tepat
pukul 10.00, keduanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari serambi
rumah. “Demikianlah Saudara-saudara! Kita sekalian telah merdeka!”, ujar Bung
Karno di hadapan segelintir patriot-patriot sejati. Mereka lalu menyanyikan
lagu kebangsaan sambil mengibarkan bendera pusaka Merah Putih. Setelah upacara
yang singkat itu, Bung Karno kembali ke kamar tidurnya; masih meriang. Tapi
sebuah revolusi telah dimulai. (ref)
Beberapa
jam lalu Soekarno sempat makan sahur. Lalu apakah Soekarno berpuasa? Secara fiqh (ilmu
hukum), pengakuan dokter pribadinya itu menyatakan Soekarno tidak berpuasa.
Puasanya batal, karena telah memasukkan zat (makanan) ke dalam rongga mulut.
Upacara
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ternyata berlangsung tanpa protokol, tak ada
korps musik, tak ada konduktor dan tak ada pancaragam. Tiang bendera pun dibuat
dari batang bambu secara kasar, serta ditanam hanya beberapa menit menjelang
upacara.
Referensi
:
Api
Sejarah Jilid 2, Ahmad Mansur Suryanegara, Salamadani, 2010 (hal 161-162)
Siapa
Menabur Angin Akan Menuai Badai, Soegoarso Soerojo, Cv Sri Murni, 1988 (hal 16)
Berbagai
sumber blog
Sumber
: serbasejarah.wordpress.com