Presiden
ke-2 RI, Soeharto banyak mendapat sorotan dunia internasional ketika masih
menjabat, salah satunya, adalah ketika pada dasawarsa 90-an, ia berkunjung ke
kawasan Bosnia saat perang saudara Bosnia-Herzegovina bergolak. Ketika itu,
Soeharto ingin menunjukkan simpati kepada kaum Muslim di sana, yang dalam
posisi sebagai minoritas menjadi bulan-bulanan kelompok etnis lain.
Walaupun
ketika itu di sana terdapat banyak faksi yang sulit ditebak posisinya, Soeharto
memutuskan pergi ke Bosnia untuk menengahi konflik yang telah menimbulkan
korban jiwa ribuan orang itu. Pada awal Maret 1995, Soeharto, yang seperti
biasa didampingi beberapa pembantu terdekatnya, seperti Mensesneg Moerdiono dan
Menlu Ali Alatas mengadakan lawatan ke Eropa.
Dalam
agenda kunjungan itu, Soeharto juga akan ke Sarajevo, ibu kota Bosnia, yang
ketika itu menjadi kawasan perang yang brutal. ABRI (sekarang TNI) mengirimkan
pasukan pendahulunya untuk menyiapkan kedatangan Soeharto beserta rombongan ke
Bosnia, termasuk melakukan pendekatan kepada pemerintah Bosnia serta berbagai
faksi yang sedang berseteru. Ketika rombongan presiden RI tiba di Eropa, belum
ada kepastian bisa tidaknya rombongan itu ke Bosnia.
Dalam
suasana belum pasti itu, sebuah pesawat milik PBB yang melintas di Bosnia
ditembak jatuh pada 11 Maret 1995. Kejadian itu memberikan tekanan yang tinggi
bagi rombongan Indonesia yang ingin ke Bosnia tersebut. Namun, Soeharto
memutuskan tetap pergi ke medan tempur itu pada 13 Maret, atau dua hari setelah
pesawat yang ditumpangi Utusan Khusus PBB Yasushi Akashi ditembak jatuh.
Persiapan
pun terus dilaksanakan, mulai menyiapkan substansi pertemuan hingga persiapan
pengamanan. Puluhan wartawan yang menjadi bagian rombongan kunjungan presiden
pun berharap bisa ikut penerbangan "berani mati" ke kawasan yang
ketika itu sedang diwarnai pertumpahan darah itu. Maka, mulailah banyak rayuan
yang disampaikan ke Moerdiono, penanggung jawab perjalanan, agar bisa masuk
dalam daftar yang ikut ke Sarajevo, ibu kota Bosnia.
Upaya
rayu-merayu itu berjalan alot, karena sudah dipastikan bahwa jumlah rombongan
yang akan ikut Soeharto ke Bosnia itu sangat terbatas. Akhirnya Moerdiono
memutuskan bahwa hanya dua wartawan yang akan ikut terbang ke Bosnia, yakni
dari LKBN Antaraserta Radio Republik Indonesia (RRI). Alasan
pemilihan itu akhirnya dapat diterima oleh puluhan wartawan lainnya.
Dua
wartawan itu kemudian mendapat tugas untuk membuat laporan kepada teman-teman
wartawan yang tidak ikut dalam penerbangan itu, walaupun ketika itu belum
diketahui cara melaporkan berita kepada mereka dan kepada redaksi
masing-masing.
Akhirnya
Presiden Soeharto berangkat dari Kroasia ke Sarajevo, ibu kota Bosnia Herzegovina,
pada 13 Maret 1995. Jumlah penumpang pesawat buatan Rusia itu hanya 15 orang
yang terdiri atas seorang perempuan petugas PBB, serta 14 orang
Indonesia. Soeharto, didampingi Moerdiono, Ali Alatas, diplomat senior Nana
Sutresna, ajudan presiden Kolonel Soegijono, Komandan Grup A Pasukan Pengamanan
Presiden (Paspampres) Kolonel Sjafrie Sjamsoeddin, juru foto kepresidenan
Saidi, serta beberapa orang lainnya, termasukAntara dan RRI.
Dikutip
dari buku Pak Harto the Untold Stories, Sjafrie juga menulis Soeharto
enggan mengenakan rompi anti peluru dan helm baja. Padahal semua memakai rompi
antipeluru seberat 12 kilogram yang bisa menahan proyektil M-16. “Eh, Sjafrie,
itu rompi kamu cangking(jinjing) saja,” ujar Soeharto kepada Sjafrie.
Para
wartawan yang tinggal di Kroasia kemudian menyalami Antaradan RRI di
tangga pesawat dan pada wajah-wajah mereka tampak jelas kekhawatiran atau
ketakutan akan nasib rombongan ini. Mungkin juga, perasaan kurang beruntung
karena mereka tidak bisa turut. Tidak lama setelah pesawat PBB itu tinggal
landas dari Kroasia, seluruh rombongan mendapat sebuah formulir berbahasa
Inggris yang harus ditandatangani semua orang, termasuk Soeharto.
Formulir
itu berupa penegasan bahwa PBB tidak akan bertanggung jawab jika terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan dalam penerbangan itu. Walau sempat ragu-ragu,
tidak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali menandatangani kontrak itu. Terlihat
juga Soeharto, Moerdiono, Ali Alatas membubuhkan tanda tangannya dalam formulir
tersebut.
Setelah
terbang sekitar satu jam, akhirnya pesawat buatan Rusia itu mendarat dengan
mulus di Sarajevo. Sambil mengenakan rompi anti peluru Antara pun
dengan tergesa keluar pesawat agar bisa memotret Soeharto turun dari pesawat.
Ketika itu, Soeharto mendapat pengawalan sangat ketat oleh pasukan bersenjata
PBB serta Paspampres.
Saat
mendarat di Sarajevo, Sjafrie melihat senjata 12,7 mm yang biasa digunakan
untuk merontokkan pesawat terbang terus mengikuti pesawat yang ditumpangi
rombongannya. Saat konflik, lapangan terbang itu dikuasai dua pihak. Pihak
militer Serbia menguasai landasan dari ujung ke ujung, sementara kiri-kanan
landasan dikuasai Bosnia.
“Pak Harto turun dari pesawat dan berjalan dengan tenang. Melihat Pak Harto begitu tenang, moral dan kepercayaan diri kami sebagai pengawalnya pun ikut kuat, tenang dan mantap. Presiden saja berani, mengapa kami harus gelisah,” tulis Sjafrie.
Kemudian
anggota rombongan diperintahkan segera masuk ke kantor PBB di bandara itu
sambil menunggu persiapan ke kantor pemerintah setempat di tengah kota. Untuk
rombongan itu, PBB menyediakan beberapa kendaraan lapis baja pengangkut
personel (armoured personel carrier/APC). Soeharto yang juga naik APC disertai
ajudan dan pengawal serta seluruh anggota rombongan kemudian berangkat ke pusat
kota Sarajevo dengan mendapat pengawalan yang super ketat.
Mereka
melewati sniper valley, sebuah lembah yang penuh diisi penembak jitu dari
kedua pihak yang bertikai. Untungnya tidak ada apa-apa selama perjalanan.
Soeharto pun tiba di istana kepresidenan Bosnia yang saat itu keadaannya
memprihatinkan. Tidak ada air sehingga air bersih harus diambil dengan ember.
Selama pertemuan, Sjafrie melaporkan ada tembakan meriam tak jauh dari istana.
Setelah meninggalkan istana, Sjafrie pun bertanya pada Soeharto mengapa nekat mengunjungi Bosnia yang berbahaya. Termasuk menyampingkan keselamatan dirinya.
“Ya kita kan tidak punya uang. Kita ini pemimpin Negara Non Blok tetapi tidak punya uang. Ada negara anggota kita susah, kita tidak bisa membantu dengan uang ya kita datang saja. Kita tengok. Yang penting orang yang kita datangi merasa senang, morilnya naik dan mereka menjadi tambah semangat,” jawab Pak Harto.
Setelah meninggalkan istana, Sjafrie pun bertanya pada Soeharto mengapa nekat mengunjungi Bosnia yang berbahaya. Termasuk menyampingkan keselamatan dirinya.
“Ya kita kan tidak punya uang. Kita ini pemimpin Negara Non Blok tetapi tidak punya uang. Ada negara anggota kita susah, kita tidak bisa membantu dengan uang ya kita datang saja. Kita tengok. Yang penting orang yang kita datangi merasa senang, morilnya naik dan mereka menjadi tambah semangat,” jawab Pak Harto.
Sjafrie
terpesona mendengar jawaban ini.
Sambil
menunggu, Antara dan RRI mulai gelisah karena tidak tahu
cara untuk mengirim berita. Akhirnya berkat bantuan juru foto Saidi, kedua
wartawan ini bisa berbicara dengan Dan Grup A Paspampres Kolonel Sjafrie untuk
memakai pesawat telepon langsung yang disiapkan untuk Soeharto.
Tanpa
memakai kode akses lokal atau internasional, giliran pertama diberikan kepada
wartawan RRI untuk langsung menelepon ke kantornya di Jalan Medan
Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Ketika itu dia langsung bisa mengudara dan
laporan berita olah raga yang ketika itu, sekira pukul 20.10 WIB, sedang
disampaikan RRI di sela laporan langsung dari Bosnia.
Kemudian
giliran Antara menelepon ke Jakarta dan dilanjutkan ke
wartawan-wartawan yang menunggu di Kroasia untuk memberikan laporan mengenai
kunjungan Soeharto di negeri yang sedang berperang itu. Pengalaman mengirim
berita dari medan perang itu bakal tak terlupakan. Setelah Soeharto berunding
dengan pejabat-pejabat tinggi Bosnia, akhirnya rombongan kembali ke bandara
untuk selanjutnya terbang lagi ke Kroasia.
Namun Antara dan RRI ternyata
tidak bisa lagi satu pesawat dengan Soeharto karena ada dua jenderal TNI yang
datang mendahului Soeharto harus ikut satu pesawat dengan presiden. Dengan
bantuan seorang letnan kolonel Paspampres, Antara dan RRI hari
itu juga bisa bergabung dengan menggunakan pesawat PBB yang mengangkut ratusan
prajurit PBB yang akan istirahat di Kroasia.
Malam
itu juga, kedua wartawan ini tiba di Kroasia. Tepuk tangan meriah diberikan
wartawan lain ketika mereka melihat dua wartawan itu sudah berada di lobi hotel
dengan selamat. Perjalanan Soeharto ke medan perang itu, walaupun tidak diikuti
dengan konperensi internasional mengenai penyelesaian masalah Bosnia seperti
direncanakan, semula tetap dikenang sebagai sebuah perjalanan bersejarah.
Lawatan
itu akhirnya menghasilkan berdirinya sebuah masjid megah di ibu kota Bosnia
yang merupakan hasil penyaluran bantuan banyak dermawan asal Indonesia.
Presiden Megawati Soekarnoputri dan suaminya Taufiq Kiemas beberapa tahun
kemudian mengunjungi masjid tersebut.
Sumber
: Antara